Sabtu, 09 Mei 2015

Cendikiawan Islam Dan Peranannya Pada Zaman Abbasiyah. Al-fazary


Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (796-806) adalah seorang filsuf muslim, matematikawan, dan astronom.Beliau lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayah beliau, Ibrahim al Fazari, juga seorang astronomer dan matematikawan. Beberapa sumber mengatakan bahwa dilihat dari nama, beliau berasal dari Arab tapi mempelajari ilmu di Persia dan sumber yang lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang Persia. Al Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.
Al Farazi adalah salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang peran penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah. Al Fazari menerjemahkan beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan Persia. Bersama dengan beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, Masha'Alhah, dan Umar ibnu al-Farrukhan al-Tabari, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan yang sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi. Beliau tidak segan untuk mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind, tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.
Al Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern", saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.
Ilmuwan terkemuka bernama Yaqub ibnu Tariq juga turut membantu dalam proyek pengalihan bahasa tersebut. Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Bukan hanya karena wawasan astronominya tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Hasil kerja Al Farazi melalui penerjemahan mengenalkan sistem penomoran tersebut ke dunia Arab.                      

Al-fargani
Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus. 
Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga masa kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua masa tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan menerbitkan laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin mengetahui diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan penelitian tersebut dengan baik.
Al-Farghani juga termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan mengambil bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga berhasil menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan pencapaian yang sangat luar biasa.
Hasil penelitian al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang)adalah salah satu karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan astronomi di Eropa.
Di dalam buku tersebut, al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif dari para ilmuwan muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun 1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum tahun 1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.

Jabir batany
Al-Battani lahir pada tahun 858 di Battan, Harran. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibnu Sinan al-Battani. Namun, para penulis abad pertengahan lebih sering menyebutnya dengan nama Albetegni atau al-Batenus.
Ketertarikan al-Battani pada benda-benda langit membuatnya menekuni bidang astronomi. Ia mendapat pendidikan tersebut dari sang ayah, Jabir Ibn San’an al-Battani, yang juga seorang ilmuwan. Dengan kecerdasannya, al-Battani mampu menguasai semua pelajaran yang diberikan ayahnya dan menggunakan sejumlah peralatan astronomi dalam waktu yang cukup singkat. Beberapa waktu kemudian, ia meninggalkan Harran menuju kota Raqqa yang terletak di tepi sungai Eufrat. Di kota ini, ia melanjutkan pendidikan dan mulai melakukan bermacam penelitian, yang kemudian menghasilkan sejumlah penemuan penting yang berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Pada tanggal 14 September 786, khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, membangun sejumlah istana di kota tersebut sebagai bentuk penghargaannya atas penemuan al-Battani. Usai pembangunan tersebut, kota Raqqa berubah menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang ramai.
Sebagai seorang ahli astronomi, al-Battani menghasilkan sejumlah penemuan astronomi yang penting bagi dunia. Ia adalah ilmuwan pertama yang mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bumi mengelilingi matahari, yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Angka yang ditunjukkan dalam perhitungannya itu mendekati angka yang dihasilkan para ilmuwan modern saat melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat yang lebih akurat. Ketika alat astronomi canggih belum ditemukan, al-Battani dikenal telah melakukan penelitian terhadap bermacam benda langit.
Selama 42 tahun, al-Battani terus melakukan penelitian semacam itu dan menghasilkan sejumlah penelitian yang mengagumkan. Ia menemukan garis bujur terjauh matahari mengalami pengingkatan 16,470 sejak perhitungan yang dilakukan Ptolomeus beberapa abad sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan satu penemuan penting tentang gerak lengkung matahari. Al-Battani juga bisa menentukan kemiringan ekliptik, panjang musim, dan orbit matahari secara akurat. Ia bahkan berhasil menemukan orbit bulan dan planet, dan menetapkan Teori Kemunculan Bulan Baru. Pada tahun 1749, penemuan al-Battani mengenai garis lengkung bulan dan matahari digunakan Dunthorne untuk menentukan gerak akselerasi bulan.

Abu ja’far muhammad
Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jari At-Tabari, beliau lebih dikenal dengan nama at-Tabari atau Ibnu Jarir at-Tabari, beliau seorang sejarahwan dan ahli tafsir terkemuka kelahiran kota Amul, Tabaristan (di Iran) pada tahun 225 Hijriyah atau 839 sesudah Masehi. Kota Amul tersebut merupakan tempat berkembangnya kebudayaan Islam, namun ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kota Baghdad.
Di kota Baghdad, ia pernah ditunjuk menjadi hakim, tetapi ia menolaknya. Lalu, pemerintah juga pernah memintanya menjadi hakim yang menangani perkara-perkara kezaliman para pejabat. Namun, ia pun tetap menolaknya.
Pada saat berusia kurang lebih 85 tahun, beliau wafat di kota Baghdad, tepatnya pada tahun 310 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 923 sesudah Masehi.
Sebagian besar hidupnya di isi dengan mengajar dan menulis. Salah seorang muridnya, yakni Ibnu Kumail, menjelaskan bagaimana gurunya membagi waktu setiap ahri. Pagi sampai siang hari digunakannya untuk menulis. Di dalam satu hari beliau sanggup menulis 40 halaman karya ilmiah. Adapun pada sore hari, ia memberi pelajaran al-Qur'an dan tafsir di mesjid. Lalu, selepas maghrib ia memberikan pelajaran ilmu fikih.
                Untuk melanjutkan sekolahnya ke pusat-pusat studi Islam, at-Tabari pertama kali berangkat ke kota Rayy, Iran. Setelah itu ia pindah ke kota Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sebelum ia sampai ke kota tersebut, Imam Hanbali meninggal dunia (241 H/855 M). Lalu, ia pergi ke kota Wasit dan Basrah untuk mengikuti beberapa kuliah. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan ke kota kota Kufah untuk mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.
Kemudian beliau kembali ke kota Baghdad untuk belajar ilmu-ilmu al-Qur'an dan fikih, khususnya fikih Syafi'i. Pada tahun 253 H/867 M, beliau pergi ke kota Fustat, Mesir, dan singgah di Suriah untuk belajar ilmu hadis. Setelah itu, ia kembali lagi ke kota Baghdad dan berhasil menulis berbagai karya monumental yang tetap banyak digunakan sampai saat ini.
Kitab tafsirnya yang paling terkenal adalah kitab Jami' al-Bayan Fi tafsir al-Qur'anatau lebih di kenal dengan nama kitab Tafsir at-Tabari. Kitab itu berorientasi pada permasalahan tafsir hukum (fiqih), karena ia juga terkenal sebagai seorang fuqaha lewat karyanya Iktilaf al-Fuqaha' (perbedaan pendapat para ulama).

Ibnu sina
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian; “Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
                Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit.
               
Ibnu miskawaih
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaqub Ibn Miskawaih, adalah seorang filosof muslim yang di anggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa.[T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam. Terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah. Tt. hlm 73] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran Iran) dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.

Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan dia mengikuti ethics Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta kembali mengikuti Aristoteles. Pada bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang hampir sama, Tibb al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri, susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di tulis sebuah penjelasan tentang menolak kesedihan. [F M.M. Syarif (ed) A. History of Muslim Philoshopy, Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm 90-96]. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz al-Asghar (tentang metefisika: ketuhanan, jiwa dan kenabian)dan masih banyak yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar